Perubahan Iklim

Dunia Harus Bersiap Hadapi Krisis Iklim Tanpa Bantuan AS

Dunia Harus Bersiap Hadapi Krisis Iklim Tanpa Bantuan AS, setelah Trump menarik miliaran dolar dari inisiatif pendanaan transisi hijau global.

Dunia harus mulai bersiap menghadapi pemanasan global tanpa dukungan finansial dari Amerika Serikat setelah pemerintahan Trump menarik kembali miliaran dolar yang sebelumnya telah dijanjikan untuk mendukung berbagai inisiatif transisi hijau global, menurut pernyataan utusan iklim Inggris.

Pada pekan ini, Afrika Selatan mengumumkan bahwa AS telah menginformasikan pembatalan komitmen dana sebesar US$1 miliar yang sebelumnya dijanjikan untuk program transisi dari energi batu bara.

Sebelumnya, pada Januari lalu, AS juga menarik janjinya memberikan dana sebesar US$4 miliar kepada Green Climate Fund, lembaga pendanaan iklim terbesar di dunia dalam kategorinya. Hingga kini, kepastian nasib dana miliaran dolar yang dijanjikan AS untuk mendukung transisi hijau di Indonesia dan Vietnam pun masih belum jelas.

“Kita perlu mempersiapkan skenario terburuk sambil tetap berharap pada hasil terbaik,” kata Rachel Kyte, utusan iklim Inggris, dalam wawancara di Pretoria, ibu kota Afrika Selatan, Kamis lalu. Ia menegaskan bahwa dunia perlu bersiap menghadapi kenyataan bahwa AS kemungkinan tidak lagi berkontribusi dalam pendanaan global untuk transisi hijau.

Sejak menjabat pada 20 Januari, Presiden Donald Trump telah membuat kebijakan yang mengguncang dunia bantuan dan pembiayaan pembangunan, antara lain dengan membongkar organisasi serta inisiatif terkait, membatalkan pendanaan, dan menentang langkah-langkah melawan perubahan iklim.

Walaupun langkah-langkah tersebut menimbulkan kekacauan, sejumlah pemimpin negara lain menegaskan komitmen untuk tetap melanjutkan program-program terkait.

“Ilmu pengetahuan tidak berubah hanya karena tanggal 20 Januari,” ujar Kyte sebelum membuka acara peluncuran hasil penelitian yang didanai Inggris tentang dampak kesehatan akibat tinggal di sekitar pembangkit listrik berbahan batu bara.

“Meski beberapa entitas AS melakukan ‘green hushing’, yaitu meredam komitmen mereka terhadap isu lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG), pola investasi di luar AS tetap konsisten,” tambahnya.

Pernyataan Kyte ini muncul di tengah situasi di mana berbagai inisiatif iklim juga terancam oleh pemotongan anggaran bantuan pembangunan dari negara-negara kaya Eropa, termasuk Inggris, yang mulai mengalihkan dana ke sektor pertahanan setelah Trump memberi sinyal akan melemahkan komitmen keamanan AS terhadap Eropa.

Menurut Kyte, diperlukan perubahan fokus yang signifikan. Inisiatif pendanaan iklim harus mampu menarik lebih banyak investasi swasta, sementara bank-bank pembangunan multilateral juga harus direformasi agar bisa memainkan peran lebih besar. Selain itu, berbagai inisiatif yang ada harus disederhanakan agar tercipta kumpulan modal yang lebih besar.

“Seruan untuk reformasi semakin meningkat agar sistem bank pembangunan multilateral dan struktur keuangan internasional dapat berfungsi secara lebih efektif,” jelasnya. Ia menambahkan bahwa pendekatan ini perlu dilakukan secara “lebih besar, lebih berani, dan lebih baik.” Meskipun peran AS secara global masih belum pasti, agenda untuk bergerak dengan lebih baik dan lebih berani tetap harus menjadi prioritas.

Kyte juga mengingatkan bahwa dampak penarikan AS dari Perjanjian Paris dan inisiatif pendanaan internasional sebaiknya tidak dibesar-besarkan. Walaupun AS menjanjikan miliaran dolar untuk program iklim, kenyataannya, realisasi pendanaan tersebut seringkali tidak tercapai.

“Kita harus tetap berharap bahwa suatu hari nanti AS akan kembali bergabung, tidak hanya dengan janji semata, melainkan juga dengan aksi nyata,” tutupnya.

fukushimask

Selamat datang di Fukushi Mask! Kami membuat blog ini untuk memberikan informasi terkini, tips, manfaat, dan berita lingkungan kepada pengunjung kami. Melalui artikel-artikel yang kami posting, kami berusaha untuk menyajikan informasi yang akurat, benar, dan berguna bagi Anda.